24 December 2007

Merayakan Rahmat

Oleh: Yonky Karman
Rohaniwan, Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Rahmat menyapa lewat kelahiran Yesus, menubuh dalam bayi di palungan, kemudian bertambah besar dan bijaksana. Verbum caro factum est. Dan firman telah menjadi manusia. Rahmat Allah ada pada Yesus. Kata dan laku-Nya menguatkan yang lemah, membebaskan yang terimpit beban kehidupan, senasib dengan yang tersingkir. Rahmat yang menyelamatkan manusia sudah nyata, dengan konsekuensi moralnya (Tit 2:11-12).

Perayaan Natal seyogianya tidak terjebak dalam paradigma menggereja. Semestinya Yesus di pusat perayaan, bukan perayaan spektakuler atau karisma pengkhotbah. Natal tanpa Yesus kehilangan esensinya, hanya peristiwa kultural, rutinitas tanpa visi, tiada terobosan untuk memperbaiki kerusakan moral, tiada kekuatan untuk meruangkan kebersamaan. Kekitaan terperangkap dalam kekamian. Rahmat dilupakan.


Amnesia kolektif

Rahmat mestinya bagi segenap alam. Namun, kita terpaku pada alam. Kita berupaya menguasai alam dan mengeksploitasinya. Alam menjadi obyek keserakahan sekaligus ketidakpedulian. Pemanfaatannya tidak mendatangkan rasa syukur di hati. Setelah beberapa dekade Indonesia merdeka, wajah kemiskinan sebagian besar rakyat belum berubah.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertuang pengakuan iman, "Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa… rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Kemerdekaan adalah rahmat. Namun, kita lebih merayakan kemerdekaan daripada rahmat. Yang besar merasa bebas merusak dan mengintimidasi yang kecil; juga merasa bebas merampas hak hidup yang kecil.

Kemajemukan tidak dirayakan sebagai rahmat. Pemerintah membiarkan kelompok dalam masyarakat mengancam dan merugikan yang lain hanya karena perbedaan keyakinan. Alih-alih hukum ditegakkan untuk melindungi yang lemah, massa dibiarkan menegakkan hukum jalanan. Pemerintah Negara Indonesia Merdeka belum melindungi segenap bangsa sebagaimana amanat konstitusi.

Melalui perjuangan diplomasi yang alot, Indonesia diakui sebagai sebuah negara kepulauan. Namun, banyak pulau dibiarkan takbertuan, Ada yang dijual kepada swasta. Ada daerah wisata dikelola asing, tetapi di situ rupiah tidak laku. Ada daerah pariwisata yang hanya dapat dimasuki wisatawan asing. Pemerintahan belum melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai amanat konstitusi.

Kualitas sumber daya manusia Indonesia menurun. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, Indonesia menempati peringkat ketujuh di Asia Tenggara, sedangkan Vietnam yang baru membangun belakangan kini di peringkat kelima. Pemerintah belum memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi.

Rahmat Allah mestinya mendidik kita untuk hidup dengan bijaksana, adil, dan beribadah. Rahmat tidak hanya memampukan kita berbuat baik, tetapi membuat kita harus berbuat baik sehingga kita dikenal sebagai umat yang rajin berbuat baik. Hingga wafat-Nya, Yesus dengan setia menghadirkan agama di ruang publik, membumikan kemanusiaan, melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Natal merayakan rahmat. Konsekuensinya, kita bertanggung jawab mengurangi penderitaan sesama, mengangkat harkat hidup mereka yang dipinggirkan ketidakadilan, berbagi nikmat dengan sesama yang kurang beruntung, memberi asa kepada yang kehilangan harapan. Seharusnya kita beramai-ramai membangun rumah kesalehan sosial daripada mempersoalkan pembangunan dan bangunan rumah ibadah.

Dalam merayakan rahmat, kita tak lagi mempersoalkan mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang lebih baik dari yang ini. Yang lebih hakiki adalah bagaimana hidup di dunia terbaik dari yang mungkin ada. Dunia harus menjadi sedikit lebih baik lewat kehadiran dan karya kita. Yesus tidak meminta umat diangkat dari dunia, tetapi mendoakan mereka agar dilindungi dari yang jahat dan dikuduskan dalam kebenaran.

Solidaritas kebangsaan

Dalam peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional di Medan (19/12), Presiden menegaskan agar kesetiakawanan sosial tidak sekadar wacana. Nilai luhur bangsa itu harus diwujudkan dalam perilaku sosial guna menciptakan Indonesia yang aman, damai, adil, dan demokratis.

Sejak tsunami, bencana demi bencana melanda Indonesia. Di negeri bencana, alam meradang. Ada bencana murni karena alam. Namun, yang memprihatinkan adalah bencana akibat kelalaian manusia dan pemerintah. Ancaman pemanasan global menimbulkan banjir, badai, angin puting beliung, dan cuaca ekstrem. Banjir pasang laut menjebol tanggul, merusak tambak, dan merendam kawasan nelayan.

Karena kemampuan mengatasi dampak perubahan iklim amat minim, negara miskin lebih menjadi korban fenomena perubahan iklim dengan kerugian ekonomi miliaran dollar. Sembilan dari sepuluh bencana alam terbesar akibat iklim tahun 2007 terjadi di negara miskin dengan dampak lebih buruk daripada yang terjadi di negara maju.

Asia adalah kawasan paling menderita. Negeri paling berisiko terhadap perubahan iklim selama 2006 adalah Filipina, Korea Utara, dan Indonesia. Di Indonesia terjadi 21 bencana alam. Total korban jiwa 1.297 orang, naik dari tahun sebelumnya. Jika tahun 1987-2006 kerugian Indonesia akibat bencana iklim rata-rata 0,27 persen dari produk domestik bruto nasional (keenam terbesar di dunia), tahun 2006 naik menjadi 0,31 persen.

Sebagai negeri yang ketahanan terhadap bencananya lemah, kesetiakawanan warga ditantang. Yang paling menderita akibat perubahan iklim yang tak menentu adalah petani. Jumlah petani gurem (miskin) kita terus meningkat. Dan, 60 persen rakyat miskin kita adalah petani.

Bencana tidak hanya menghancurkan harta benda, tetapi juga membuat rakyat kecil terperosok dalam kubangan kemiskinan. Mereka kehilangan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Perempuan dan anak-anak lebih menderita lagi. Anak-anak terpaksa putus sekolah, sakit-sakitan hidup di pengungsian, tanpa masa depan. Di depan rahmat Allah, kita semua harus tafakur. Saatnya menguatkan solidaritas kebangsaan melampaui solidaritas keumatan dan kesukuan.


Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/22/opini/4095349.htm


No comments: