29 December 2007

Apakah TUHAN menciptakan kejahatan?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?” Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya.”

“Tuhan menciptakan semuanya?” tanya profesor sekali lagi.

“Ya, Pak, semuanya.” kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”

“Tentu saja,” jawab Si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”

“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” tanya Si Profesor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."

Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”

Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”

Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”

Dengan bimbang profesor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.

“Terhadap jawaban tersebut mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan di hati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.


Penulis: anonim.

27 December 2007

A merry Christmas to all - including Muslims

National News - December 24, 2007

By Muhammad Nafik
The Jakarta Post, Jakarta


A Merry Christmas for Christians and Muslims. Why Muslims? Because Muslims should join festivities that commemorate the birth of Prophet Isa aka Jesus Christ.

The Koran actually cites not only Jesus' birthday, but also two other important moments in his existence -- his death and the day of his resurrection. This is clearly stated in Sura Maryam (Verse of Mary): 33, "So peace is on me (Jesus) the day I was born, the day that I die and the day that I shall be raised up to life (again)".

If the Koran itself recorded Jesus as such, how come Muslims were prohibited by ulema from wishing Christians a merry Christmas? This goes against the fundamental truth of Islam.

If we are consistent in our faith, recognizing Jesus as a prophet in Islam, we should not hesitate to join his birthday celebrations. Whether our own celebrations are held in a different manner to Christians' is not an issue.

The statement in the Sura Maryam should, therefore, end the controversy of whether Muslims are allowed to give Christians a Christmas greeting.

Debates on this sensitive subject have continued to resurface each year, since the Indonesia Ulema Council issued a fatwa in 1981, banning Muslims from greeting Christians at Christmas.

The council said such behavior had bad implications for Muslims' common faith in Isa. The ulema said the greetings implied Muslims justified the Christian belief that Jesus is God, while Islam recognized him as a prophet.

The claim, which seems to be supported by many (if not most) Muslim clerics, was exaggerated and seems not to make sense given that greetings are a social courtesy. What is not allowed is for Muslims to be engaged in the ritual aspects of Christmas.

In the Koran, Jesus Christ is named Isa Almasih. He is described as a figure with many privileges, who was born without a father -- which Christians similarly believe.

While Jews accused Jesus' mother Maria (Maryam, Mary) of adultery and rejected his presence on earth, Islam considered him one of the Ulul Azmi (five supreme prophets) comprising Muhammad, Abraham (Ibrahim), Moses (Musa), Noah (Nuh) and Isa (Jesus).

This is evidence that Islam recognizes and respects Jesus' nobility, and is the reason why we should celebrate his presence on earth, which served as a torch for the world in times of darkness and hopelessness.

Another substantial religious reason for Muslims to greet Christians during Christmas is the fact that the Koran promotes pluralism between communities of different faiths, ethnicities, cultures and groups.

The spiritual objective of this is for us to know and learn about people from other groups (li ta'arafu), to stop us fighting one another (li takhashamu), considering others infidels (li takafaru) or killing each other (li taqatalu).

In this respect, all religions should be treated as equal, to pave the way for free and fair dialogs in interfaith groups, without any subordination from any single party.

With regard to pluralism in this country, non-Muslims have shown themselves to be more tolerant than Muslims in numerous instances.

For example, when Indonesian Moslems observed Idul Fitri on Oct. 13-14, many Christians sincerely greeted them. These wishes were conveyed by leaders on television, through newspaper advertisements and other media facilities.

Some churches, like the one close to my housing complex in Ciputat on the city outskirts, even erected banners with Idul Fitri greetings.

In prayers held at public events, non-Muslims are never bothered or worried when this session is led by Muslims, but it would be a different story if non-Muslims led the prayers.

In constructing houses of worship, non-Muslims have faced more challenges and resistance than Muslims.

Such intolerance continues to rise amid the silence of moderate Islamic leaders in the world's biggest Muslim population.

To enlighten Indonesia's Muslim community such leaders must raise the issue more frequently at major events.

This Christmas is a good opportunity for Muslim leaders to campaign for pluralism, tolerance and co-existence. At least they can start by doing the same as Christians do when they greet us during post-Ramadhan festivities.

The preaching of pluralism would be more influential and effective if leaders of Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah -- the two biggest Muslim organizations in Indonesia -- joined hands with moderate scholars and other charismatic clerics to publicly wish Christians a Merry Christmas.

The writer can be reached at nafik@thejakartapost.com




26 December 2007

Mengharapkan Bumi dan Langit Baru

Oleh: Mgr I Suharyo Pr
Uskup Keuskupan Agung Semarang


Beberapa tahun lalu saya melihat sebuah iklan terpampang di tempat yang amat strategis, di salah satu pintu masuk kota Yogyakarta. Iklan itu memuat gambar mulut orang yang terisi—mungkin lebih tepat dijejali—berbagai macam buah.

Mulut itu begitu penuh sampai kelihatan menganga amat lebar, hampir sobek. Saya bertanya dalam hati, masihkah itu boleh disebut mulut? Iklan yang terpampang selama sekitar tiga tahun itu rupanya ingin mengatakan kepada orang-orang yang melihat, betapa enaknya produk makanan yang ditawarkan itu. Waktu saya melihatnya, dalam hati saya bertanya, bukankah iklan ini mencerminkan salah satu watak zaman, serakah?

Keserakahan inilah yang antara lain membuat Indonesia kehilangan julukan zamrud khatulistiwa, lalu menyandang sebutan baru sebagai negara penghancur hutan tercepat (Tempo, 41/XXXVI/3-9 Desember 2007 hal 62). Keserakahan ini pula yang kiranya membuat Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali tidak mudah menghasilkan keputusan bersama. Keserakahan ini pula yang menempatkan Indonesia pada urutan ketiga paling rawan terkena dampak pemanasan global (Kompas, 12/12/2007, hal 13). Keserakahan itu tak hanya merusak Bumi, tetapi juga menjadikan manusia penyembah berhala. Menurut perspektif Kristiani, serakah sama dengan menyembah berhala (bdk Ef 5:5).

Langit baru Bumi baru

Natal adalah peringatan kedatangan Yesus ke dunia lebih dari dua milenium lalu (Luk 2:1-8). Kedatangan Yesus juga diharapkan pada kepenuhan waktu, ketika Allah menjadi semua di dalam semua (1 Kor 15:28). Namun kedatangan Yesus tidak hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. "Hari ini", Ia juga harus dilahirkan di tengah dunia nyata (Luk 2:11). Ketiga makna ini terkait harapan akan masa depan yang damai dan sejahtera. Beginilah Nabi Yesaya menubuatkan kedatangan Yesus, "…seorang anak telah lahir untuk kita… dan namanya disebutkan orang… Raja Damai… dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan… karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran" (9:5-6).

Zaman damai sejahtera itu digambarkan sebagai suatu harmoni alam semesta sebagaimana dinubuatkan oleh nabi yang sama, "serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing… anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya… tidak ada yang akan berbuat jahat atau berlaku busuk… sebab seluruh Bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan" (Yes 11:6-9).

Pada zaman itu Bumi akan menjadi amat subur, "…pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran" (Am 9:13-14).

Rusaknya relasi antara Allah dan manusia serta antara manusia (bdk Kej 11) akan diatasi. Demikian juga alam yang hancur karena kejahatan manusia (Kej 6-7) akan dipulihkan. Akan terwujudlah langit baru dan Bumi baru (bdk Why 21:1-8). Nyatakah harapan itu?

Hiduplah dengan bijaksana

Ajakan untuk hidup bijaksana itu adalah bagian dari ajakan yang disampaikan dalam Pesan Natal bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang berjudul "Hiduplah dengan Bijaksana, Adil dan Beribadah". Agar dapat hidup bijaksana, umat Kristiani diimbau supaya tekun mendengarkan firman Allah agar kebijaksanaan Ilahi meresapi pikiran dan hati.

Dalam konteks Natal dan situasi aktual zaman ini, hati dan pikiran yang diresapi kebijaksanaan Ilahi akan menggerakkan orang untuk—baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama—ikut membangun langit baru dan Bumi baru sehingga harapan menjadi kenyataan.

Di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, seorang pemimpin komunitas iman mengembangkan Gerakan Masyarakat Cinta Air dalam rangka konsientisasi dan edukasi masyarakat akar rumput. Di Bantul, DI Yogyakarta, ada orang lain lagi yang selama 25 tahun menghutankan sekitar 400 hektar bukit kapur kritis serta membentuk sebanyak dua belas kelompok tani pencinta lingkungan (Kompas, 16/12/2007).

Pada tingkat global ada berita gembira, Peta Jalan Bali disepakati para peserta Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim, termasuk AS.

Dalam perspektif Kristiani, itu semua adalah wujud kecil atau awal langit dan Bumi baru. Prakarsa seperti inilah yang antara lain diamanatkan khususnya kepada umat Kristiani yang merayakan Natal. Kalau demikian, perayaan Natal menjadi ibadah sejati dan bermakna, bukan sekadar ibadah basa-basi.

Selamat Natal 2007 dan Selamat Tahun Baru 2008.


Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/24/utama/4088720.htm


Natal dan Solidaritas Ekologis

Oleh: Aloys Budi Purnomo
Rohaniwan; Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI, Lentera yang Membebaskan, Semarang


Kelahiran Yesus ke dunia tidak hanya bermakna ritual-spiritual, tetapi juga ekologal. Artinya, ada makna ekologis yang cukup signifikan di balik peristiwa Natal.

Secara tersirat, itulah makna kidung Natal kepada gembala di padang rumput, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di Bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Lukas 2:14).

Maka, perayaan Natal harus ditempatkan dalam kesadaran membangun solidaritas ekologis. Saat ini Bumi telah kehilangan damai sejahtera akibat aneka bahaya ekologis yang mengancam dan menghancurkan semesta.

Keprihatinan ekologis

Dalam perspektif iman dan teologis, kehadiran Yesus ke dunia tidak hanya untuk menebus dan menyelamatkan manusia, tetapi juga alam semesta dan isinya. Oleh karena itu, perwujudan iman terkait Natal harus menyentuh keprihatinan ekologis.

Berbagai keprihatinan ekologis terjadi dan itu membahayakan kelestarian Bumi dan manusia. Keprihatinan yang sudah mengglobal adalah terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global akibat berbagai jenis emisi gas yang merusak lapisan ozon.

Kecuali itu, Bumi dan manusia dihadapkan petaka akibat perusakan tanah subur yang disulap menjadi padang gurun. Sumber-sumber daya alam seperti hutan tropis dirusak dan dihancurkan oleh egoisme pembalak liar hutan. Akibatnya, udara, air, dan tanah mengalami pencemaran.

Semua itu merupakan keprihatinan ekologis yang kian mencekam manusia dan mengancam kelestarian alam semesta. Faktor-faktor ekologis yang merupakan modal ekologis, seperti tanah, air, dan udara, kian tercemar polusi. Alih-alih dilestarikan, modal ekologis justru dikuras habis-habisan sehingga mengancam generasi masa depan.

Proses produksi kerap tidak mengindahkan semesta dan manusia. Kian tinggi produksi ekonomi, kian banyak limbah industri, pengotoran, pencemaran udara, bahkan peracunan tanah dan air karena bekas bahan kimia, baik industri maupun pertanian.

Merajut solidaritas

Natal merupakan momen buat merajut solidaritas antara umat manusia dan alam semesta. Sebagaimana teologi Natal selalu terkait teologi solidaritas, Putra Allah berkenan menjadi manusia untuk menyapa manusia dan menyelamatkannya. Demikian pula penghayatan Natal harus menjadi kesempatan untuk membangun solidaritas.

Benar, perayaan Natal selalu diimbangi aksi sosial Natal, yakni perhatian kepada wong cilik, lemah, miskin, dan tersingkir-tertindas-tergencet-terabaikan. Namun, kiranya kita perlu menjawab keprihatinan ekologis dengan menjadikan Natal sebagai kesempatan membangun aksi ekologis.

Menyambut perayaan Natal tahun ini, umat Paroki Hati Kudus Yesus Tanah Mas, Semarang, melakukan aksi Natal yang tidak hanya bersifat sosial (pembagian sembako), tetapi juga bersifat ekologis. Menyadari bahwa daerah ini adalah daerah panas sekaligus rawan banjir, kami mencoba menata lingkungan sekitar.

Secara sederhana, kami melakukan program penanaman seribu pohon dan bunga. Harapannya, halaman parkir dan sekitar gereja yang panas menjadi teduh dan sejuk. Tanaman-tanaman juga berfungsi untuk menyerap dan menahan air agar tidak terjadi banjir. Bersama masyarakat warga, kami membenahi selokan yang mampat akibat lumpur dan sampah liar.

Dewasa ini banyak daerah selalu terancam banjir. Karena terancam banjir, tidak sedikit orang secara periodik menaikkan fondasi rumah untuk mengatasi banjir. Namun, itu hanya berlaku untuk mereka yang kaya dan berduit. Bagi banyak orang miskin, rumah mereka tetap tenggelam pada saat banjir. Jika hujan tiba, tak sedikit orang harus "menguras ruang tamu" akibat banjir.

Di sinilah tantangan merajut solidaritas kian jelas. Solidaritas terhadap yang tidak mampu menaikkan fondasi rumah. Solidaritas bagi mereka yang miskin yang kerap terperangkap kemiskinan yang bersifat ekologis.

Dalam hal ini, perlu dikembangkan etika pembatasan diri berlandaskan solidaritas dengan kaum miskin yang tidak bisa hidup layak. Perlulah mengembangkan pembangunan yang manusiawi dan solider dengan tetangga.
Sudah saatnya umat Kristiani menyambut dan mengenang kelahiran Yesus dengan mengedepankan pola solidaritas ekologis.

Selamat Natal!

Natal dan Kedamaian Lingkungan

Oleh Mgr AM Sutrisnaatmaka MSF
Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah

Rasanya kurang lengkap jika merayakan Natal tanpa hiasan pohon natal, palungan dalam goa, dan lampu-lampu. Dalam perayaan Natal di mana pun, pernik-pernik itu tak pernah absen.

Pertanyaannya, apakah perayaan Natal bisa juga mengajak kita untuk berefleksi tentang makna iman yang menyentuh kedamaian lingkungan?

Dua ciri khas

Pohon natal serta palungan dan kandang merupakan dua ciri khas penanda perayaan kelahiran Yesus. Tradisi pohon natal konon dihubungkan dengan "Sandiwara Firdaus" yang sejak Abad Pertengahan dipentaskan di muka pintu gereja. Sejenis cemara dengan pelbagai hiasan itu layak ditampilkan karena pada musim dingin tetap hijau, menjadi simbol kehidupan; sementara pohon-pohon lain gugur daunnya, seirama dengan musim yang sedang berlangsung.

Palungan di kandang Betlehem merupakan ungkapan devosional, didasarkan Injil Lukas 2:6-20. Santo Fransiskus Asisi, pembela kaum miskin, pendendang "Kidung Matahari", amat menaruh perhatian pada satwa dan tetumbuhan. Dalam tradisi sesudahnya muncul doa, Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai.

Paus Honorius III tahun 1223 memberikan izin kepada Fransiskus untuk menggambarkan misteri penjelmaan dengan menggunakan palungan, patung bayi Yesus, Maria, dan Yusuf, dilengkapi malaikat, gembala, domba, dan lainnya. Itulah kelengkapan perayaan peristiwa Natal, kelahiran Yesus dalam sejarah manusia.

Perayaan Natal juga menyentuh kedamaian lingkungan manakala dua ciri secara mendalam disadari maknanya. Sementara di sudut dunia lain terjadi peristiwa kelahiran "seorang bayi dibungkus lampin, terbaring di palungan", dan di surga terdengar nyanyian, "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" (Luk 2:12-14).

Lingkungan rusak

Salah satu masalah besar negara kita adalah merosotnya kualitas lingkungan hidup akibat meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta banyaknya bencana. Hal ini ditegaskan dalam laporan "STATUS Lingkungan Hidup Indonesia" yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup. Rusaknya lingkungan menjadi tanda tidak adanya kedamaian manusia dengan lingkungannya.

Perhelatan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali menegaskan status kerusakan lingkungan di tingkat internasional. Kian disadari, perubahan iklim berdampak menyengsarakan penduduk dunia. Tidak mengherankan, ketika musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; ketika kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat. Pelbagai usaha dilakukan untuk mencari sebab terjadinya perubahan iklim. Juga dipikirkan cara penanggulangannya meski hasilnya masih perlu ditunggu.

Setelah krisis beruntun, berbagai bencana muncul karena lingkungan rusak dan baru disadari perlunya memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Alam dieksploitasi dengan serakah sebagai bahan produksi, tanpa memerhatikan ekosistem. Solusinya, antara lain, dengan green production, produksi ramah lingkungan.
Namun, perusakan lingkungan terus berlangsung. Kasus pembalakan liar, pembabatan dan pembakaran hutan, menjadi pemicu rusaknya "paru-paru" dunia. Penambangan menghasilkan limbah beracun yang mencemari air sungai, dan menimbulkan pelbagai macam penyakit. Bencana alam yang silih berganti: gempa dan tsunami, letusan gunung api, badai atau angin ribut, berdampak besar bagi lingkungan hidup. Air laut pasang pun menunjukkan dampak pemanasan global.

Kedamaian lingkungan

Perayaan Natal merupakan ungkapan sekaligus perwujudan iman akan kasih Allah untuk umat manusia. Namun, jika iman masih direfleksi sebatas hubungan manusia dengan Tuhan, dan tak membawa serta orang beriman untuk melibatkan hidup sehari-hari termasuk di dalamnya alam sekitar dan lingkungan, maka manusia akan terperangkap dalam kesulitan yang kian besar. Memisahkan ungkapan iman dalam perayaan ibadat dan perwujudan nyata untuk sesama dan lingkungan tak lagi merupakan penghayatan dan pengamalan iman yang utuh dan lengkap.

Tepatlah bahwa perayaan Natal disertai bakti sosial, kunjungan ke penjara, panti asuhan, tempat pengungsian, dan lainnya. Itulah perwujudan kasih Allah dalam program kedatangan dan karya Yesus: "... Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin,... memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan orang-orang buta, membebaskan orang tertindas..." (Lukas 4:18-19).

Perlu ditambahkan, dalam konteks zaman sekarang, refleksi iman (teologi) berkembang menjangkau kawasan lingkungan hidup. Jika kedamaian lingkungan terusik dan menimbulkan pemanasan global yang menyengsarakan, maka mata iman selayaknya tertuju kepada pemberitaan kabar baik tentang kedamaian lingkungan dan pembebasan dari kerusakannya. Kita diingatkan pada kisah penciptaan, ketika segala sesuatu baru diciptakan Tuhan: tumbuh-tumbuhan berbiji, pohon-pohon, hewan, manusia, dan "semua itu sungguh amat baik adanya" (Kejadian 1-2).

Menciptakan harmoni kehidupan yang menyentuh semua unsurnya menjadi urusan tiap orang beriman dari semua agama. Kedamaian lingkungan menjadi keprihatinan dan kerinduan semua orang yang berkehendak baik. Perayaan Natal bisa menjadi momen pembangkit kesadaran untuk berusaha memperbaiki lingkungan dari kerusakannya; sekaligus memberi pengharapan bahwa Allah yang penuh kasih tak akan menyia-nyiakan usaha manusia. Natal bisa membarui visi-misi umat beriman untuk mengungkapkan imannya akan Tuhan dengan meningkatkan martabat manusia dan mengusahakan kedamaian lingkungan. Partisipasi dalam penanaman dan pemeliharaan pohon dan usaha-usaha lain untuk memperbaiki lingkungan hidup bisa menjadi penghayatan dan pengamalan iman dalam merayakan Natal kali ini.



Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/24/opini/4095121.htm


25 December 2007

Merry Christmas everyone!

Selamat Natal semuanya ^^,


Kiranya Natal tahun ini bukan lagi sekadar perayaan dan tambahan kesibukan, tetapi lebih dari pada itu: menjadi tekad tiap hari untuk menjadi pembawa misi pendamaian TUHAN terhadap hidupku dan mereka yang tinggal dalam kegelapan.


Tentang kedatangan-Nya, Kristus menyatakan dengan tegas,

"Aku telah datang ke dalam dunia sebagai terang,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Ku,
jangan tinggal di dalam kegelapan."
(Yohanes 12:46).


Jadi jika kita masih tinggal dalam kegelapan, maka hanya ada dua kemungkinan:


Dia berbohong

atau

kita belum percaya* kepada-Nya.


Selamat merenungkan makna Natal yang selama ini Anda hidupi.

Dengan kasih dan doa,
PMK Melisia Christi



* "Percaya" yang Alkitab maksudkan bukan sekadar persetujuan pemikiran. Dalam Yakobus 2:19 dikatakan bahwa setan-setanpun percaya pada Allah dan gemetar karenanya. Ironisnya, banyak orang yang (merasa) percaya pada Allah tetapi sama sekali tidak pernah gemetar karenanya. "Takut Allah Allah" tidak ada lagi dalam kamus hidup mereka. "Percaya" macam ini bukan percaya yang menyelamatkan. "Percaya" yang Alkitab maksudkan adalah percaya yang mempercayakan diri seutuhnya kepada Allah: yaitu menempatkan Kristus sebagai prioritas pertama dan terutama dalam hidup dan mati.

24 December 2007

Kembalikan Natalku

Oleh: BS Mardiatmadja
Rohaniwan, Dosen STF Drayarkara

Apa yang istimewa pada Natal sebenarnya? Pohon Natal tidak penting karena di gurun pun kita seharusnya dapat merayakan Natal tanpa sepotong pohon Natal. Salju yang harus tersedia demi nyanyian White Christmas juga tidak mutlak, karena di Argentina atau Madagaskar atau New Zealand natalan pakai salju merusak seluruh konteks setempat yang sedang musim panas.

Gua kandang menjadi hiasan aneh untuk suatu kompleks yang berisi anak-anak kecil, yang belum pernah melihat kandang lembu, selain di Kebun Binatang; padahal Kebun Binatang sama sekali bukan latar belakang tepat untuk menggambarkan susah payahnya Maria dan Yoseph mencari penginapan. Gembala dengan kambingnya memberi gambaran asing bagi anak-anak kota, yang juga ingin menemukan makna Natal sebenarnya.

Sewaktu saya menyarankan mengubah nyanyian Natal dengan nyanyian setempat, ada yang protes: itu sudah menjadi milik umat semesta sehingga tidak perlu diganti. Tentu saja kita harus berterimakasih kepada Joseph Mohr dan Franz Xaver Gruber yang di tahun 1818 menggubahnya. Tetapi kita lihat kata-katanya saja "Stille Nacht, heilige Nacht! Alles schläft, einsam wacht nur das traute, heilige Paar. Holder Knab im lockigen Haar: Schlafe in himmlischer Ruh!" (sebaiknya tak diterjemahkan karena terjemahannya sekarang sudah beraneka macam; hampir semuanya memperhalus maksud semulanya). Kata dan melodi yang melantunkan keheningan. Sementara itu, di luar gedung ada sekelompok polisi/tentara menjaga agar ibadat kita tidak dikacau orang yang tidak suka. Tentu saja kita berterimakasih kepada pihak keamanan, yang secara ekstra, pasti berusaha keras menjaga semua ibadat Natal tahun ini.

Merayakan Kepalsuan?

Tetapi keheningan macam apa yang sebenarnya kita madahkan? Keheningan selama beberapa jam ini-kah? Lalu kita hiruk pikuk lagi? Kalau demikian keheningan semu dan keheningan ritual saja. Lalu kita merayakan apa? Kita merayakan kepalsuan? Dan kepalsuan itu tidak hanya berkaitan dengan ritus Kristiani, melainkan kepalsuan politis juga, yang penuh dengan topeng serta rekayasa sedemikian sehingga kosmetik tebal menutupi kebusukan (=corruptio) tak terperi. Bahkan sidang sebesar Sidang ekologi Bali tidak dapat menghilangkan tippex yang menutupi kejahatan ekologis di banyak sekali kota besar dunia: pertanda jurang besar menganga untuk menerkam miliaran orang di sekitar kita.

Sebenarnya, Dia yang datang itu dan sekarang maunya kita rayakan itu, bermaksud menjembatani segala kesenjangan itu, menutup jurang-jurang komunikasi dan menyambung relasi antara surga dan dunia. Tetapi ritus beberapa jam atau pohon Natal beberapa meter atau rantai hiasan warna warni itu malah menyebabkan kita silau dan tidak dapat melihat kebenaran di dunia ini: ya Sang Kebenaran kita benamkan dalam tumpukan kembang kertas. Kerap kali kita marah kalau ada orang muda atau "mulut lancang" berseru, betapa Gereja atau Gereja-gereja kita atau masyarakat kita telah mengecat kebenaran sehingga tertutup dengan hiasan-hiasan yang manis.

Sewaktu Dia datang, Herodes, raja lelucon itu mencoba menghibur diri (=kita semua) dengan argumen penundaan bakti guna menantikan bukti ilmiah mengenai kehadiran Sang Kebenaran serta berlindung di balik istana analisis: tetapi menolak ikut menyembah Tuhan. Sewaktu Dia datang, para cerdik pandai di Ibukota (=kita semua) sibuk mencari dalam lembaran-lembaran sejarah, membuka file-file masa lampau dan mempresentasikannya secara publik untuk menghindar dari keharusan menghormati Tuhan yang menjadi realita masa kini. Sewaktu Dia mendekat, hanya orang-orang melarat yang tetap di darat untuk sempat menjabat hangat.

Kelak Anak Kecil ini akan datang ke Bait Allah untuk membabat habis orang-orang yang memalsukan kepentingan iman dengan perdagangan di tempat suci dan perdagangan barang suci serta perdagangan dengan alasan suci. Apa yang akan Dia lakukan, seandainya sekarang Dia hadir di Ibukota ini dan melihat, bagaimana kita menjual Dia di gedung mewah dan dengan makanan serba nikmat serta mengenakan pakaian serba "wah"? Apa yang akan Dia lakukan terhadap iklan-iklan untuk menyeret Anak Kecil itu ke gemerlap lampu kita? Puaskah Dia akan dalih, bahwa setelah mengalami ditendang-tendang ke sana kemari, umat kita pantas juga merasakan kebersamaan yang manis? Relakah Dia membiarkan Si Kecil ditenteng-tenteng bersama dengan hadiah-hadiah yang merupakan alat cuci kedekilan moral kita?

Jangan-jangan itu semua karena kita segan mencari di balik Pohon Natal atau Gua Natal tradisional; enggan menyingkap kapas bak salju yang menutupi hati kita; tak rela membuka kosmetik yang mengingatkan kita akan wajah kusut kemanusiaan kita. Padahal Dia kita rayakan justru untuk masuk ke dalam kemanusiaan kita yang kusut. Marilah kita berani mengakui kekusutan kita. Marilah kita kembali pada Natal yang asli. Kembalikan Natal kita!




Merayakan Rahmat

Oleh: Yonky Karman
Rohaniwan, Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Rahmat menyapa lewat kelahiran Yesus, menubuh dalam bayi di palungan, kemudian bertambah besar dan bijaksana. Verbum caro factum est. Dan firman telah menjadi manusia. Rahmat Allah ada pada Yesus. Kata dan laku-Nya menguatkan yang lemah, membebaskan yang terimpit beban kehidupan, senasib dengan yang tersingkir. Rahmat yang menyelamatkan manusia sudah nyata, dengan konsekuensi moralnya (Tit 2:11-12).

Perayaan Natal seyogianya tidak terjebak dalam paradigma menggereja. Semestinya Yesus di pusat perayaan, bukan perayaan spektakuler atau karisma pengkhotbah. Natal tanpa Yesus kehilangan esensinya, hanya peristiwa kultural, rutinitas tanpa visi, tiada terobosan untuk memperbaiki kerusakan moral, tiada kekuatan untuk meruangkan kebersamaan. Kekitaan terperangkap dalam kekamian. Rahmat dilupakan.


Amnesia kolektif

Rahmat mestinya bagi segenap alam. Namun, kita terpaku pada alam. Kita berupaya menguasai alam dan mengeksploitasinya. Alam menjadi obyek keserakahan sekaligus ketidakpedulian. Pemanfaatannya tidak mendatangkan rasa syukur di hati. Setelah beberapa dekade Indonesia merdeka, wajah kemiskinan sebagian besar rakyat belum berubah.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertuang pengakuan iman, "Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa… rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Kemerdekaan adalah rahmat. Namun, kita lebih merayakan kemerdekaan daripada rahmat. Yang besar merasa bebas merusak dan mengintimidasi yang kecil; juga merasa bebas merampas hak hidup yang kecil.

Kemajemukan tidak dirayakan sebagai rahmat. Pemerintah membiarkan kelompok dalam masyarakat mengancam dan merugikan yang lain hanya karena perbedaan keyakinan. Alih-alih hukum ditegakkan untuk melindungi yang lemah, massa dibiarkan menegakkan hukum jalanan. Pemerintah Negara Indonesia Merdeka belum melindungi segenap bangsa sebagaimana amanat konstitusi.

Melalui perjuangan diplomasi yang alot, Indonesia diakui sebagai sebuah negara kepulauan. Namun, banyak pulau dibiarkan takbertuan, Ada yang dijual kepada swasta. Ada daerah wisata dikelola asing, tetapi di situ rupiah tidak laku. Ada daerah pariwisata yang hanya dapat dimasuki wisatawan asing. Pemerintahan belum melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai amanat konstitusi.

Kualitas sumber daya manusia Indonesia menurun. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, Indonesia menempati peringkat ketujuh di Asia Tenggara, sedangkan Vietnam yang baru membangun belakangan kini di peringkat kelima. Pemerintah belum memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi.

Rahmat Allah mestinya mendidik kita untuk hidup dengan bijaksana, adil, dan beribadah. Rahmat tidak hanya memampukan kita berbuat baik, tetapi membuat kita harus berbuat baik sehingga kita dikenal sebagai umat yang rajin berbuat baik. Hingga wafat-Nya, Yesus dengan setia menghadirkan agama di ruang publik, membumikan kemanusiaan, melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

Natal merayakan rahmat. Konsekuensinya, kita bertanggung jawab mengurangi penderitaan sesama, mengangkat harkat hidup mereka yang dipinggirkan ketidakadilan, berbagi nikmat dengan sesama yang kurang beruntung, memberi asa kepada yang kehilangan harapan. Seharusnya kita beramai-ramai membangun rumah kesalehan sosial daripada mempersoalkan pembangunan dan bangunan rumah ibadah.

Dalam merayakan rahmat, kita tak lagi mempersoalkan mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang lebih baik dari yang ini. Yang lebih hakiki adalah bagaimana hidup di dunia terbaik dari yang mungkin ada. Dunia harus menjadi sedikit lebih baik lewat kehadiran dan karya kita. Yesus tidak meminta umat diangkat dari dunia, tetapi mendoakan mereka agar dilindungi dari yang jahat dan dikuduskan dalam kebenaran.

Solidaritas kebangsaan

Dalam peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional di Medan (19/12), Presiden menegaskan agar kesetiakawanan sosial tidak sekadar wacana. Nilai luhur bangsa itu harus diwujudkan dalam perilaku sosial guna menciptakan Indonesia yang aman, damai, adil, dan demokratis.

Sejak tsunami, bencana demi bencana melanda Indonesia. Di negeri bencana, alam meradang. Ada bencana murni karena alam. Namun, yang memprihatinkan adalah bencana akibat kelalaian manusia dan pemerintah. Ancaman pemanasan global menimbulkan banjir, badai, angin puting beliung, dan cuaca ekstrem. Banjir pasang laut menjebol tanggul, merusak tambak, dan merendam kawasan nelayan.

Karena kemampuan mengatasi dampak perubahan iklim amat minim, negara miskin lebih menjadi korban fenomena perubahan iklim dengan kerugian ekonomi miliaran dollar. Sembilan dari sepuluh bencana alam terbesar akibat iklim tahun 2007 terjadi di negara miskin dengan dampak lebih buruk daripada yang terjadi di negara maju.

Asia adalah kawasan paling menderita. Negeri paling berisiko terhadap perubahan iklim selama 2006 adalah Filipina, Korea Utara, dan Indonesia. Di Indonesia terjadi 21 bencana alam. Total korban jiwa 1.297 orang, naik dari tahun sebelumnya. Jika tahun 1987-2006 kerugian Indonesia akibat bencana iklim rata-rata 0,27 persen dari produk domestik bruto nasional (keenam terbesar di dunia), tahun 2006 naik menjadi 0,31 persen.

Sebagai negeri yang ketahanan terhadap bencananya lemah, kesetiakawanan warga ditantang. Yang paling menderita akibat perubahan iklim yang tak menentu adalah petani. Jumlah petani gurem (miskin) kita terus meningkat. Dan, 60 persen rakyat miskin kita adalah petani.

Bencana tidak hanya menghancurkan harta benda, tetapi juga membuat rakyat kecil terperosok dalam kubangan kemiskinan. Mereka kehilangan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Perempuan dan anak-anak lebih menderita lagi. Anak-anak terpaksa putus sekolah, sakit-sakitan hidup di pengungsian, tanpa masa depan. Di depan rahmat Allah, kita semua harus tafakur. Saatnya menguatkan solidaritas kebangsaan melampaui solidaritas keumatan dan kesukuan.


Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/22/opini/4095349.htm


16 December 2007

Pembubaran Panitia Natal 2007

Mungkin Anda agak bingung dengan foto-foto di sini yang agaknya tidak pas dengan pembubaran panitia Natal 2007. Tapi memang begitulah kami ini, sampai-sampai singkatan PMK bisa diartikan Poto-poto, Makan-makan, dan Kumpul-kumpul hehe ^^,

Rapat diadakan hari Sabtu, jam 18.00 (tapi mulainya ngaret 30 menitan, hiks). Waktu itu hujan cukup deras dan banyak laron masuk ruangan. Foto-foto ini diambil bersama kue ucapan terima kasih sepesial untuk panitia dari seorang pria misterius yang ramah, baik hati, ceria, dan tidak sombong dengan nama samaran Bong Fuk Lai (ada yg tahu siapakah dia?). Tentu kami foto-fotonya sesudah rapat evaluasi selesai. Foto yang gelap dapet ide dari dimatikannya lampu untuk mengurangi laron agar tidak masuk ruang. Trus di antara mereka ada beberapa 'oknum' yang belum mandi kerna sejak siang ikut mengantar paket-paket parcel Natal. Tapi karena anak MC manis-manis n cute, maka Anda pasti tidak bisa menemukan siapa-siapa yang blon mandi. Sayang tidak semua panitia dapat hadir karena berbagai alasan tertentu. Namun rapat pembubaran panitia dapat berjalan dengan baik. Setiap orang yang datang menceritakan evaluasi pribadi dan evaluasi pelayanan tiap komisi. Hampir semua kelebihan dan kekurangan dibicarakan: pembagian undangan, kaitan dengan Romantic Dinner dan Fun Sandwich, pencarian dana, persiapan-persiapan dan latihan-latihan, jam mulai natalan yang molor, adanya teman baru yang merasa terasing (terlantar), kurangnya berdoa untuk teman-teman yang diundang, gladi kotor dan gladi bersih, pembicara yang melebihi waktu yang disediakan, nasi bungkusnya, banyaknya teman-teman yang maju memberikan respon, drama yang menarik perhatian, pengeluaran-pengeluaran, bla..bla..bla.. dst, dst...


Dan kami semua sepakat bahwa itu semua sesungguhnya baru satu titik awal. Yang juauh lebih penting adalah bagaimana tindakan lanjutnya? Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah sarana, alat, atau acara untuk mengarahkan kita semua pada hidup yang sepenuhnya mencari dan memuliakan Allah. Apakah dalam diri setiap panitia juga terus terpaku janji hati untuk "no turning back" ke hidup yang lama? Bagaimana panitia dan pengurus dapat (saling) menjaga dan merawat baik-baik ke-61 orang yang hadir? Ini semua masih menjadi PR besar kita semua.
Doakan kami, agar memasuki tahun baru yang tinggal beberapa hari lagi, PMK Melisia Christi kian menjadi tempat di mana TUHAN 100% dirajakan, ditinggikan, dihormati, dan diceritakan.

08 December 2007

Liputan NO TURNING BACK

Praise be to GOD!!! Setelah hampir dua bulan mempersiapkan Natal, akhirnya peringatan Natal PMK Melisia Christi dapat berjalan dengan sangat baik. Berikut laporannya singkatnya.



Ini dia para penerima tamunya: Mira, Novita D dan Fitri. Trus Ajung di bagian ME (mechanical & electronic cieee....). Sebenarnya masih banyak teman-teman yang bekerja dibalik layar, yaitu mereka yang mempersiapkan dekorasi, yang bersih-bersih ruangan, yang antar jemput, yang bagi-bagi undangan, yang ngamen, yang jualan pastri, yang memberikan usulan, yang memberikan dana, yang mendoakan, dan seterusnya. Thank you all.



Ini adalah para musikus, pemimpin pujian dan singers. Aldo dan Yeremia di keyboard, Andre di bass, dan Leo di ketipung & tamborin. Thank so much buat Andre untuk usaha kerasnya memberikan yang terbaik di tengah beban penelitian yang menghimpit. Thank u buat Yeremia untuk pelayanan dan pinjaman keyboardnya. Thank u buat Leo untuk iringan ketipungnya. Thank u juga buat Aldo untuk iringannya. Thank u buat Vera untuk usaha kerasnya menjadi pemimpin pujian di tengah pergumulan kesehatan ibunya. Thank u juga untuk Andry dan Delfy :)



Ini suasana pujian dan penyembahannya.



Yang ini pohon doanya. Jumlah "daun doa" ada lebih dari 300 nama. Dan total yang datang ada 64 orang. Thanks untuk keterbebanan teman-teman untuk mengundang rekan-rekan yang lain. Tentu ada sukacita tersendiri ketika melihat mereka datang dan maju ke depan meresponi tantangan. Next time kita semua musti lebih bersemangat mengundang teman baru dan lama. Bersemangat!!!



Ini drama Natalnya. Di sini dikisahkan pergulatan batin Tora (diperankan oleh Budi, baju merah garis putih) ketika harus memilih antara mengasihi pacar atau TUHAN.



Pembicaranya Ev. Johan Setiawan. Bersyukur sekali untuk pelayanan firman (KKR) yang beliau bawakan. Bersyukur melalui beliau TUHAN mendapat banyak tempat (komitmen baru) di hati banyak anggota/pengurus yang datang. Bersyukur juga untuk pinjaman LCD proyektornya :)



Ini video saat tantangan berlangsung. Hampir semua yang datang memberikan respon. Ada 3 tantangan yang diresponi: (1) menerima KRISTUS sebagai Tuhan dan Juruselamat. (2) Berjanji hidup sepenuhnya untuk TUHAN. (3) Menjadi orang yang bersungguh hati mencari dan memuliakan TUHAN dalam segenap aspek hidup.



Dan yang tidak mungkin terlewatkan: foto-foto ;)



Demikianlah Natal PMK Melisia Christi. Oya, kami juga berterima kasih untuk GBI Shalom Yogyakarta untuk pinjaman tikarnya.

Doakan follow up yang masih kami gumulkan. Doakan agar TUHAN menyatakan pimpinan-Nya agar semua yang sudah dikerjakan tidak hilang begitu saja, tetapi sungguh-sungguh menjadi titik balik dari hidup yang kadang-kadang memuliakan TUHAN menjadi hidup yang senantiasa memuliakan TUHAN.

03 December 2007

!!! NO TURNING BACK !!!


Doakan seluruh seluruh persiapan (pembicara dan panitia) untuk acara ini. Doakan kehadiran rekan-rekan yang diundang (ada 290 lebih nama yang diundang!). Doakan juga agar melalui poster-poster yang ditempel ada lebih banyak lagi orang yang datang. Doakan kehadiran TUHAN dalam acara ini untuk membaharui hati dan hidup setiap orang yang terlibat dan datang.

Andrie dan Irma

Segenap keluarga besar PMK Melisia Christi mengucapkan selamat dan berbahagia untuk


Andrie Setiyawan Kusdianto, S.E.
dan
Irma Kulanta, S.T.


Kiranya kasih dan kemuliaan TUHAN kian nyata kalian alami dan pancarkan.


Pemberkatan nikah:
Minggu, 2 Desember 2007, pukul 10.00 WIB
di Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela
Kumetiran - Yogyakarta


Resepsi pernikahan:
Minggu, 2 Desember 2007, pukul 12.30 WIB
di Nusantara Room - Pacific Restaurant
Jl. Magelang Km. 4,5 - Yogyakarta

02 December 2007

FUN SANDWICH =)

Thank GOD untuk acara FUN SANDWICH yang dapat berjalan dengan baik, penuh sukacita, dan menyenangkan. Thank u untuk dukungan doanya. Thank u dan salut untuk persiapan, kerja sama dan pelaksanaan panitia dan rekan-rekan yang terlibat. Thank u kesediaan teman-teman mengikuti acara ini. Kiranya kasih TUHAN kian nyata kita rasakan dan bagikan.


Yang jadi usher Nono dan Novita lengkap dengan senyum manis mereka :"> Trus yang jadi MC Agus dan Delfi. Khusus untuk Delfi, "selamat ya untuk penampilan perdananya ya... jadi ketagihan ngemsi terus ya? hehe..." Yang mengiringi pujian adalah Aldo, trus singers nya Irfa dan Vera.


Permainan pertama adalah kata bersambung uh..uh... ah..ah.. uh..uh.. ah..ah.. Kata "Sekali" dan "Christi" muncul mulu... mungkin alam bawah sadar kita semua mengamini "Christi sekali" (Kristus banget) ato "Sekali Christi tetap Christi" (sekali Kristus tetap Kristus!). Trus dilanjutkan main metamorfosis: aseli, seeruuuuuu bianggeeeeeeeeett... semua pada berkeriapan kian kemari. Trus ada lomba mendirikan menara sedotan yang menegangkan sekaligus menggelikan. Trus ada persembahan pujian dari teman-teman baru (dari kiri ke kanan: Yuda, Nono, Leni, Novita Deli, Sandi, dan gitaris Andre yang lagi invisble mode hehe).



Tidak lupa menyaksikan kebaikan TUHAN. Mulai dari Vera yang senang terkekeh-kekeh, trus Nono yang tetap peace walo grogi. Trus ada surprise ulang tahunan utk David (alumni) yang hut pas hari itu, dan kesaksian dari Mega (alumni). Untuk David n Mega, "Thank you ya nyempetin datang ke acara ini."



Dan yang tidak kalah seru adalah permainan fungky mummy. Bayangkan ada 8 mummy unjuk fungky di sini!!!



Dan yang pasti: pesta sandwich!!! Bisakah kalian menemukan 10 perbedaan gaya dan sepak terjang cara makan dua kelompok di atas?



Trus yang tidak mungkin ketinggalan, selalu, kudu, en musti ada: foto-foto!








_________________________________
Acara: FUN SANDWICH
Lokasi: Home Training PMK Melisia Christi
Waktu: Sabtu, 1 Desember 2007