20 January 2008

Membeli Waktu

Seorang pria terlambat pulang dari kantor. Dalam keadaan lelah dan penat ia bertemu putranya yang berumur 5 tahun yang menunggu di depan pintu rumahnya.

“Ayah, boleh aku tanyakan satu hal?”
“Tentu, ada apa?”
“Ayah, berapa rupiah yang Ayah peroleh dari kerja Ayah tiap jamnya?”
“Itu bukan urusanmu. Mengapa kau tanyakan soal itu?” kata si ayah dengan marah.
“Saya hanya mau tahu. Tolong, beritahu saya, berapa rupiah Ayah peroleh dalam satu jam?” si kecil memohon.
“Baiklah, kalau kau tetap ingin mengetahuinya, Ayah mendapatkan Rp 20 ribu tiap jamnya”
“Oh...” sahut si kecil, dengan kepala tertunduk. Namun tak lama kemudian ia mendongakkan kepala dan berkata pada ayahnya, “Yah, boleh aku pinjam uang Rp 10 ribu rupiah?”
Si Ayah tambah marah, “Kalau kamu tanya-tanya soal itu hanya supaya dapat meminjam uang ayah agar dapat jajan sembarangan atau membeli mainan, pergi sana ke kamarmu, dan tidur! Sungguh keterlaluan! Ayah berkerja keras berjam-jam setiap hari, ayah tak punya waktu untuk perengek begitu.”

Si kecil pergi ke kamarnya dengan sedih dan menutup pintu. Si Ayah duduk dan merasa makin jengkel pada pertanyaan putranya.

Betapa kurang ajarnya ia menanyakan hal itu hanya untuk mendapatkan uang? Sekitar sejam kemudian, ketika lelaki itu mulai tenang, ia berpikir barangkali ia terlalu keras pada putranya. Barangkali ada keperluan yang penting hingga anaknya memerlukan uang Rp 10 ribu darinya, toh ia tak sering-sering meminta uang. Lelaki itu pun beranjak ke pintu kamar si kecil dan membukanya.

“Kau tertidur, Nak?” ia bertanya
“Tidak Yah, aku terjaga,” jawab si kecil.
“Setelah ayah pikir-pikir, barangkali tadi ayah terlalu keras sama kamu,” kata si ayah.
“Hari ini ayah begitu repot dan sibuk di kantor dan ayah melampiaskannya padamu. Ini uang Rp 10 ribu yang kau perlukan.”
Bocah laki-laki itu segera duduk, tersenyum, dan berseru, “Ayah, terima kasih sekali.”
Lalu si kecil segera membuka kaleng mainannya dan mengambil beberapa lembar uang yang tampak kumal dan lecek, lalu menghitung ulang tabungannya.

Melihat anaknya ternyata telah memiliki uang, si ayah kembali naik pitam.
“Kalau kau sudah punya uang sendiri, kenapa minta lagi?” gerutu si ayah.
“Karena uang yang aku punya belum cukup, tapi sekarang sudah,” jawab si kecil.
“Ayah, sekarang aku punya Rp 20 ribu! Bolehkah aku membeli waktu Ayah barang satu jam? Pulanglah satu jam lebih awal besok, aku ingin makan malam bersama Ayah.”


Pesan kisah ini mewakili jeritan hati ratusan juta anak-anak zaman ini. Sekarang bahkan kata "Ayah" dapat juga diganti dengan kata "Ibu" atau "Ayah dan Ibu." Usia golden age (balita) ibarat fondasi pada bangunan: kokoh/rapuhnya kepribadian/karakter seseorang sangat ditentukan pada fase ini. Para ahli psikoanalisa dan psikologi perkembangan sudah membuktikan hal tersebut. Namun celakanya kebanyakan orang tua terlalu menganggap enteng masalah ini sehingga cenderung lebih mengutamakan karir demi mengejar gaya hidup dan menyerahkan balita mereka ke baby sitter atau pembantu. Ironisnya, sebagai contoh, keberadaan handphone jauh lebih personal dan eksklusif ketimbang keberadaan buah hati yang dengan mudah dipercayakan pada orang lain dari biro jasa. Entah siapa yang salah, sehingga sekarang ini jutaan anak merana karena orang tua mereka justru memberikan seluruh waktu terbaik mereka mulai dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam untuk mengabdi pada perusahaan. Dan hampir selalu dengan alasan yang sama: semua ini demi penghidupan yang layak dan demi masa depan anak-anak. Really?

Jutaan pasangan orang tua muda (khususnya), disadari atau tidak, sedang turut beramai-ramai menabur jarak dengan anak sedini mungkin. Dan suatu saat nanti pasti akan tiba waktunya menuai: jangan salahkan apabila mereka lebih suka dekat dan percaya orang lain dari pada kepada ayah ibunya sendiri. So, para (calon) orang tua, kualitas hubungan dengan anak-anak kita kelak, sedang terus kita buat saat ini: dari bahan berkualitas kasih dan kedekatan seorang ayah dan ibu, atau dari bahan kualitas kasih dan kedekatan orang bayaran?

1 comment:

Anonymous said...

Bener2 menginspirasi...
cerita ini semakin memotivasi sy unt ga mau jadi karyawan.

Demi kebebasan waktu & kebebasan financial, sy pasti bjuang lebih keras unt sukses di dunia bisnis...

GO FREEDOM...!