13 October 2007

Weekend 2007: The Moment of Change (part 4)

~ Chapter 3: River of Faithfullness ~
Tantangan 1: Kerja keras, kerja tuntas, dan kerja sama.
Tantangan 2: Cermat, cepat dan berani ambil resiko.



Tantangan pertama: kelompok yang lebih cepat menyentuhkan tabung ke "star" yang berhak memiliki "star" tersebut. Namun tabung tersebut terletak di dalam pipa pralon setinggi 1,5 meter berdiameter 2,5 inch. Cara mengeluarkan tabung dengan mengisi air yang harus diambil di sungai dengan kantong plastik berlubang atau dengan anggota tubuh lain. Dalam setiap kelompok, dua orang berjaga menopang pipa pralon dengan tali sementara yang lainnya berusaha secepat mungkin mengisi pralon. Setelah pralon penuh, tabung akan terapung dan harus diambil dengan seutas benang (tidak boleh dipegang) dan dibawa untuk disentuhkan ke bintang yang terletak 3 meter di belakang lokasi pengisian pralon. Tantangan ini sungguh-sungguh menguras tenaga. Mereka harus secepat mungkin mengeluarkan/mengapungkan tabung kosong dengan mengisikan air ke dalam pralon. Untuk itu mereka hanya boleh menggunakan alat (kantong plastik berlubang) atau anggota tubuh lain (misalnya tangan). Strateginya bebas, dan kelompok Patrick memilih menggunakan strategi membawa air secara estafet, sementara SpongeBob memilih untuk masing-masing membawa air. Dengan cara estafet pengisian air lebih lambat tetapi tidak begitu menguras tenaga. Tetapi dengan cara perorangan, pengisian air bisa lebih cepat sekaligus sangat melelahkan. Semua pembawa air terlihat bekerja sangat keras sehingga perolehan air terlihat seimbang. Persaingan ketat berlangsung sekitar 15 menit. Salah seorang kelompok Sponge Bob bahkan sampai menggunakan mulut untuk untuk menampung air. Sungguh usaha yang patut dihargai. Dalam persaingan yang sedemikian tegang sayang sekali penjaga tabung kelompok Patrick sempat lengah sehingga menumpahkan air dalam pralon.

Pelajaran: persaingan di semua lini kehidupan (ipoleksos budhankam) kian hari akan kian ketat dan bahkan mematikan. Kita sebagai anak-anak TUHAN harus mempersiapkan dan menempa diri sebaik dan semaksimal mungkin. Kita harus belajar menjadi pekerja keras. Tapi bekerja keras saja belum cukup karena semua yang kita kerjakan baru bermanfaat apabila dikerjakan secara tuntas. Namun kedua hal ini masih belum cukup untuk memperoleh hasil yang maksimal tanpa kerja sama. Kerja sama, kerja tuntas dan kerja sama! Tiga hal yang musti mulai kita seriusi. Jika hanya untuk memperoleh "star" dalam tantangan ini kita bisa dan mau melakukan ketiganya, mengapa kita tidak melakukannya untuk mengejar "real star" (baca: cita-cita) ? Bukankah konteks di PMK MC saat ini sangat kondusif untuk mengerjakan ini semua? Dalam penutup suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menuliskan satu salam yang unik yang mungkin tidak pernah kita cermati, yaitu "Salam kepada Maria, yang telah bekerja keras untuk kamu. " (Rom 16:6). Kita tidak tahu Maria yang mana yang Paulus maksudkan (karena nama Maria adalah, maaf, nama pasaran pada waktu itu dan sekarang) tetapi baik Paulus maupun jemaat di Roma tahu hanya ada seorang Maria yang menjadi berkat bagi mereka saat itu. Salam ini menjadi unik karena Paulus tidak memuji kesalehan Maria, atau kepandaiannya berkhotbah, atau suaranya yang merdu, atau kecantikannya, tetapi karena kerja kerasnya untuk jemaat. Paulus tertarik dengan karakter ini karena ia tahu persis apa dan bagaimana itu kerja keras: "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku." (1Korintus 15:10). Kasih karunia (keselamatan) yang diterima Paulus (dan Maria) tidak mereka sia-siakan sehingga menghasilkan etos kerja keras yang sangat kuat tapi tidak sombong :)
Saya tidak dapat membayangkan betapa luar biasanya hasil yang akan kita peroleh bersama apabila hal ini sungguh-sungguh terwujud di antara kita. Kita menjadi kumpulan orang-orang pekerja keras: mau mati-matian belajar untuk kuliah dan melayani. Kita terbiasa kerja hingga tuntas. Dan kita menjadi komunitas yang saling bantu sehingga sinergi untuk mencapai hasil maksimal dalam studi dan pelayanan terwujud. Orang tua kita akan bangga dan bahagia karena semua yang mereka percayakan kepada kita (khususnya uang dan kesempatan studi) dapat kita manfaatkan dan pertanggungjawabkan seoptimal mungkin. Dan yang penting: kita menjadi komunitas yang memuliakan TUHAN melalui kesaksian gaya hidup dan studi yang wow indahnya. Seperti foto para pemenang dalam tantangan ini, akan ada limpahan sukacita, kepuasan, dan ucapan syukur, dan yang jelas bukan sekadar dalam permainan, tapi dalam kehidupan nyata. Mau?

Tantangan kedua: setiap kelompok berlomba memindahkan tepung menggunakan kedua tangan melalui atas kepala secara estafet. Masing-masing kelompok mendapat jatah 1,5 kg tepung, dan kelompok yang berhasil memindahkan tepung terbanyak yang menang. Namun jika kedua kelompok mampu memindahkan tepung dengan jumlah yang sama baru kecepatan menjadi penentu. Di sini kecermatan dan ketelitian lebih utama dari pada kecepatan, karena apa artinya cepat apabila banyak tepung yang terbuang. Selain itu mereka harus rela berkorban kotor-kotor kena tepung (karena kesalahan sendiri, yaitu jika tidak memegang tepung dengan rapat). Dan mereka juga harus belajar menerima hasil rekan sekerja apa adanya. Semakin hati-hati dan cermat memindahkan tepung ke belakang, semakin banyak tepung yang bisa disimpon orang paling belakang. Sebaliknya, semakin sembarangan menggenggam tepung dan mengoper, semakin banyak tepung yang terbuang.

Pelajaran: ada tiga unsur yang mau ditekankan dalam tantangan ini, yaitu kecermatan, kecepatan, dan berani terima resiko. Sekali lagi, ketiganya merupakan kualitas sekaligus tuntutan yang harus terus kita jadikan habit untuk menjawab tantangan dunia yang kian kompetitif ini. Ketika memikirkan hal ini, saya teringat dengan prestasi kerja Daniel di kekaisaran kafir pada masa pemerintahan Darius. Dicatat demikian, "Kemudian para pejabat tinggi dan wakil raja itu mencari alasan dakwaan terhadap Daniel dalam hal pemerintahan, tetapi mereka tidak mendapat alasan apapun atau sesuatu kesalahan, sebab ia setia dan tidak ada didapati sesuatu kelalaian atau sesuatu kesalahan padanya" (Daniel 6:5). Daniel sama sekali tidak bersungut-sungut atau menyalahkan TUHAN karena mengizinkan dia jadi tawanan dan menempatkan dia bekerja di lingkungan penyembah berhala dengan rekan-rekan sekerja yang memusuhi, penuh dengki dan licik. Ia mengerjakan seluruh tanggung jawab pekerjaannya dengan setia. Dan menarik sekali pada ayat selanjutnya dikatakan, "Maka berkatalah orang-orang itu: "Kita tidak akan mendapat suatu alasan dakwaan terhadap Daniel ini, kecuali dalam hal ibadahnya kepada Allahnya!" (Daniel 6:6) Kita melihat realitas yang sering menghadang anak-anak TUHAN: kesalehan Daniel justru membawa masalah yang besar di tengah lingkungan yang bengkok. Kita dapat membaca sendiri kisah seru yang terjadi setelah itu. Namun singkat kata: Daniel tidak hanya mempunyai kualitas tetapi juga integritas. Hidupnya sama sekali tidak melekat kepada berkat (baca: jabatan, fasilitas, gengsi, dan kuasa), tetapi tetap melekat hanya pada TUHAN.
Dia menghormati dan tunduk kepada TUHAN sekalipun beresiko kehilangan semua berkat dan nyawa!

Kesimpulan kisah Daniel ini seringkali berhenti pada "Daniel lolos dari mulut singa-singa yang kelaparan" atau pada "TUHAN akan membela anak-anak-Nya yang setia." Ini tidak salah, tetapi perhatikan ayat 26-28, "Kemudian raja Darius mengirim surat kepada orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa, yang mendiami seluruh bumi, bunyinya: "Bertambah-tambahlah kiranya kesejahteraanmu! Bersama ini kuberikan perintah, bahwa di seluruh kerajaan yang kukuasai orang harus takut dan gentar kepada Allahnya Daniel, sebab Dialah Allah yang hidup, yang kekal untuk selama-lamanya; pemerintahan-Nya tidak akan binasa dan kekuasaan-Nya tidak akan berakhir.
Dia melepaskan dan menolong, dan mengadakan tanda dan mujizat di langit dan di bumi, Dia yang telah melepaskan Daniel dari cengkaman singa-singa." Kita musti tiba pada kesimpulan ini, yaitu TUHAN dimuliakan sampai ke ujung dunia. Ibarat tepung-tepung dalam tantangan yang tidak boleh dinikmati untuk diri sendiri, tetapi harus diteruskan sampai orang terakhir, demikian juga segenap aspek hidup kita harus kita tujukan, arahkan, pikirkan, dan gumulkan untuk memuliakan TUHAN. Sudah menjadi kebiasaan bagi hampir semua anak-anak TUHAN hanya fokus pada diriku, keluargaku, gerejaku, teman-temanku, dan hampir tidak pernah mengkaitkan dengan apa yang TUHAN mau: yaitu agar kemuliaan-Nya mencapai seluruh bangsa. Entah bagaimana terjadinya, banyak anak-anak TUHAN dan gereja/persekutuan hanya menginginkan berkat Abraham sehingga menjadi sedemikian materialistis, berpikir sempit, dan dapat dikatakan egois. Tanpa disadari mereka menghapus frase terakhir dari janji TUHAN kepada Abraham, "Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kejadian 12:3). Sehingga kita bisa melihat betapa banyaknya para aktifis di persekutuan/gereja yang tahapan hidupnya seperti ini: lulus, berjuang mencari pekerjaan, menikah, semakin mapan, dan menjadi aktifis di gereja. Terhisap dalam kesibukan keluarga, pekerjaan, dan acara-acara (intern) gereja. Tujuan dan keinginan TUHAN agar setiap orang percaya membawa kemuliaan-Nya sampai ke semua kaum di muka bumi hampir tidak pernah lagi terpikirkan! Kalaupun ada mission trip ke luar negeri atau pedalaman, maaf, seringkali itu tidak beda jauh dengan wisata/petualangan rohani belaka. Mari kita pikirkan, renungkan, dan definisikan ulang tujuan hidup kita. "Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi." (Yesaya 49:6)

Tantangan di sini berjudul "River of Faithfullness." Bagaimana kita dapat dikatakan setia? Yaitu, apabila kita taat pada seluruh keinginan TUHAN. Kita harus menyelaraskan pikiran dan hati kita seperti pikiran dan hati TUHAN yang mencintai seluruh kaum dan bahasa di bumi ini. Apa yang ada pada kita sekarang sudah seharusnya diarahkan ke sana. Kita dapat mulai membangun pengaruh untuk membawa gereja/lembaga pelayanan di mana kita berada untuk melihat apa yang TUHAN lihat, merasa apa yang TUHAN rasa, dan menjangkau apa yang TUHAN jangkau. Kita juga dapat menjadi pendoa dan pendukung lembaga-lembaga misi dan penerbitan/penterjemahan Alkitab di seluruh kaum dan bahasa di dunia ini. Dan kalau TUHAN mengutus kita pergi, kita pun dapat dengan rela dan terhormat, menjawab, "Ini aku TUHAN, utuslah aku."

Sebagai satu ilustrasi penutup. Pada natal tahun 2006, kami mengadakan natalan di SD Bopkri Gunung Ijo - Kulon Progo. Setelah survei dan menghitung-hitung kekuatan kami untuk mencari dana, akhirnya diputuskan untuk memberikan beasiswa SPP kepada 83 anak dan sedikit tambahan honor bulanan kepada guru honorer selama setahun yang besarnya sekitar Rp. 6.300.000,- Pada saat yang sama, sebuah gereja di sebuah kota besar mengadakan natalan untuk anak-anak sekolah minggunya ke Korea Selatan selama seminggu dengan biaya per anak US$ 700/anak (atau Rp 6.440.000,- dengan kurs Rp. 9.200,-). Jika ada anak 30 anak sekolah minggu yang berangkat, plus guru sekolah minggu dan beberapa ortu, katakanlah 20 orang sehingga total berjumlah 50 orang, bukankah sebenarnya biaya natalan keluar negeri itu setara dengan biaya pendidikan di SD tersebut selama 50 tahun! Ya, untuk konteks SD Bopkri Gunung Ijo, ini berarti selama 50 tahun ke depan ada 80x50 = 400 an anak-anak miskin terbebas dari biaya pendidikan, dan ada 6 guru honorer mendapat yang bergaji Rp. 200.000/bulan mendapat tambahan Rp. 50.000,-/bulan. Ini baru satu contoh kasus: natalan anak-anak sekolah minggunya. Belum lagi untuk natalan remaja, natalan pemuda, natalan komisi wanita, natalan lansia, natalan gabungan. Dan ini juga masih dalam konteks natalan, masih ada konteks lainnya: pembangunan gereja, ziarah rohani, mission-mission tripan, dkk.
Tentu, masing-masing sedang mengerjakan dan mempertanggungjawabkan pelayanannya kepada TUHAN. Tetapi, coba mari kita bayangkan betapa luar biasanya besarnya sebenarnya kesempatan dan potensi yang dimiliki gereja-gereja di kota besar (khususnya) di Indonesia ini apabila mereka bersehati mau 'berkorban' mengalokasikan dana-dana intern untuk memajukan pendidikan dan kesehatan di Indonesia ini. Tanpa banyak dikotbahkan pun bangsa ini akan melihat kemuliaan TUHAN yang terpancar melalui gereja-Nya. Jika biaya perayaan natal seluruh gereja dan seluruh lembaga pelayanan (para church) di Indonesia tahun 2007 ini digabung, saya perkirakan jumlahnya bisa lebih dari 2 trilyun rupiah. Jumlah sebesar ini dihabiskan hanya untuk perayaan ini itu dalam kurun waktu seminggu. Andai jumlah tersebut dipakai untuk mewujudkan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis di wilayah-wilayah miskin dan/atau tertinggal dan/atau terpencil, pastilah sungguh-sungguh menjadi berkat besar bagi bangsa ini selama bertahun-tahun. Tapi rasanya itu mustahil karena setiap gereja/lembaga pelayanan sudah terbiasa membelenggu diri dengan perayaan berkedok menghormati kelahiran Tuhan Yesus. Suatu situasi dan semangat yang juaauuuhh berbeda dengan 'perayaan' (baca: pengorbanan) Natal Pertama di mana Sang Juruselamat lahir di kandang. "Merayakan" memang juaaauhhh lebih ueenaaakk dari pada "mengorbankan." Bukanlah lebih menyenangkan dan meriah merayakan natal sebagaimana yang diciptakan dan terus direproduksi oleh dunia ini, dari pada 'merayakan' natal pertama sebagaimana yang Alkitab catat? Sampai pada titik ini, sebenarnya semua perayaan itu untuk siapa? Untuk kesenanganku? Untuk tradisi gerejaku? Untuk mentaati kalender internasional tanggal 25 Desember (yang sama sekali tidak disebut dalam Alkitab dan tulisan bapa-bapa gereja)?
Atau untuk Sang Juruselamat?

No comments: